Senin, 16 November 2009

TRADISI LIMA GUNUNG

Magelang, baik kota maupun kabupaten, dikelilingi oleh lima gunung. Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Sumbing dan Pegunungan Menoreh. Itulah mengapa di Magelang ada yang disebut dengan Presiden Lima Gunung. Wong Magelang pasti sudah akrab mendengar nama beliau ini. Adalah Bapak Sutanto, yang akrab disapa Tanto Mendut. Seorang seniman fenomenal yang sukses melestarikan kesenian tradisional Magelang dengan mengkolaborasi seni musik dan tarian. Beliau tinggal di kawasan Mendut Kab. Magelang.

Festival Lima Gunung adalah beliau termasuk sang penggagasnya. Dan pada 2009 ini Festival Lima Gunung (FLG) telah terlaksana yang ke-8 kalinya. Dilaksanakan pada 26 Juli 2009 lalu di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kec. Ngablak, Kab. Magelang dengan tema Cokro Manggilingan Jiwa yang bermakna Perputaran Jiwa. Sebuah kawasan yang terletak di lereng Gunung Andong dan Merbabu ini tumpah ruah manusia. Warga desa menyambut tamu yang datang dengan menjamu makanan dari hasil bumi pertanian mereka. “Tamu itu bagaikan raja, ketika bertamu wajib makan” demikian diungkapkan oleh salah seorang warga yang dikutip Suara Merdeka.

tari-ndayaanBerbagai tarian disajikan oleh sanggar-sanggar seni seantero Jawa. Ada tarian kuda lumping yang dibawakan oleh pasien Rumah Sakit Suraya Magelang (RSSM). Para pasien gangguan jiwa ini tampil aktif dan kratif. Kesenian adalah diyakini sebagai salah satu metode terapi penyembuhan bagi mereka.

Ada pula tarian Seblak Kulup yang menceritakan tentang bocah-bocah sedang berlatih perang. Serta tampil pula para ibu-ibu yang tergabung dalam Solah Kiprah dari Fatma Budaya dan Kipas Mega dari Gejayan. Ada pula tarian Grasak dan juga tari nDayaan. Malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang orang Samudera Mantana dari Tutup Ngisor Merapi setelah sebelumnya ada penampilan dari Teater Garasi Jogja dan Komunitas Jajan Pasar Surabaya.

tari-grasakTak ada panggung mewah, tak terdapat pula background yang menjulang. Semua natural bin alami. Panggungnya adalah tanah lapang, ber-background gunung Andong dan Merbabu. Penonton juga cukup berdiri mengitari tempat pertunjukan. Kostum pemainnya juga sederhana saja, ada yang hanya memakai sabut kelapa guna membalut tubuh mereka. Lagu-lagu tradisional jadi iringannya. Sluku-sluku bathok, cublak-cublak suweng maupun caping gunung.

Meski ditengah kesederhanaan, namun agenda tahunan Festival Lima Gunung ini telah menjadi sebuah sarana dan tradisi dalam rangka melestarikan budaya bangsa ini. Orang boleh mencibir dan bilang ‘opo tho koyo ngono kuwi’ namun inilah tradisi masyarakat dan aset bangsa yang telah tertindas oleh budaya manca. Anak-anak muda kita lebih hafal lagu-lagu manca dan lebih faham budaya ‘barat’, akan tetapi melupakan budaya bangsa ini. Anggapan kuna dan modern adalah benturan peradapan dan budaya yang pada akhirnya meminggirkan tradisi masyarakat bangsa ini.

Jika ingin mengembalikan jati diri bangsa, maka disinilah tempatnya. Para petani desa inilah jati diri bangsa. Kesenian mereka inilah jati diri bangsa.

1 komentar:

  1. penari yg sexi.......
    itu termasuk tari yg mewakili dari kebudayaan jawa??
    pengen tau sejarah yg terkandung didalam tari sexi tersebut.

    BalasHapus